Jumat, 27 Juni 2014

The Extreme Journey, Sebuah Pendidikan Kehidupan

The Extreme Journey, Sebuah Pendidikan Kehidupan

“Sebuah perjalanan panjang dengan tantangan bagi para petualang sejati, melintasi tempat-tempat terindah di Indonesia, menyelami budaya, mencicipi ragam pengalaman, menjumpai manusia dari pelosok negeri, hingga melintasi batas negara. Mencari sisi lain dari jejak sejarah manusia lewat petualangan bersama_The Extreme Journey”

  Sepenggal frasa di atas sangat-sangat mewakili preferensi saya dalam melakukan sebuah perjalanan. Berjibaku dengan beragam tantangan memperkaya pengalaman menabung pengetahuan empiris, menikmati sekaligus memelihara maha karya sang Pencipta, mempelajari karya cipta manusia melalui budaya, bercengkerama dengan manusia-manusia arif di seantero dunia menumbuhkan jiwa-jiwa yang mampu ber-empati atas penderitaan sesama dan membangun generasi mandiri yang mampu menghargai negerinya dan berbagi keberhasilan dimasa mendatang. Sebuah cita-cita besar yang tak kan terwujud tanpa bahu membahu dengan rekan-rekan yang membangun cita yang sama.
Seperti halnya semakin tinggi puncak sebuah gunung, semakin besar angin dan badai yang menghempas, harus lah melatih kaki menjadi kuat dan pandai menemukan pijakan, membangun hati yang teguh selama pendakian sehingga dapat tiba di puncak dengan selamat. Cita-cita yang besar sudah tentu tak begitu mudah nya di raih, perlu pengetahuan, tekad yang kuat, pengorbanan yang besar, cucuran keringat bahkan tetesan air mata.

  The Extreme Journey menggambarkan sebuah perjalanan yang menjadi salah satu cita-cita saya, cita-cita untuk semakin dalam mengenal negeri ini untuk semakin mencintai dan memelihara negeri ini untuk mengatakan pada dunia bahwa saya bangga menjadi bagian dari negeri ini, semakin mencintai Indonesia semakin mencintai bumi nya. Untuk nya saya belajar menimba ilmu tentang bagaimana Alam raya diluar kendali manusia ini bekerja, Biologi mengenalkan pengetahuan Alam kepada saya, dari nya saya menjadi tahu bagaimana cara harus bertahan hidup ketika alam menjadi tidak terkendali, bukan dengan menantang atau menaklukan nya, tetapi membuka hati, menggerakan tangan, melangkahkan kaki se-irama dengan pergerakan alam, sebagaiman masyarakat adat dusun Waerebo NTT, Suku Anak Dalam Jambi, masyarakat Suku Dayak Kalimantan, suku Korowai Papua dan masyarakat adat diseluruh Indonesia yang masih tersisa yang telah mengajarkan bagaimana bersinergi dengan alam, dari pengetahuan empiris mereka bersama pengetahuan Biologi selama di perguruan tinggi hingga saat ini saya terus belajar untuk bergerak bersama Alam.

  Melangkah terus melangkah, tak mungkin mengenal Alam dan isinya tanpa menjelajah, tak mungkin penjelajahan dimulai tanpa tekad dan keberanian, tanpa pemikiran dari akal yang sehat,  tanpa hati dan kaki yang kuat. Segala nya harus serba dilatih untuk pandai menghadapi resiko, sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tak akan sulit lagi untuk dilakukan. Keberanian menjadi harga mati dalam sebuah perjalanan, saya melatih nya dengan memulai langkah seorang diri dari tempat dimana saya tinggal, memetakan destinasi yang menjadi keinginan agar waktu menjadi tidak terbuang sia-sia. Mengapa memilih seorang diri? Sebab keberanian ibarat sebuah pisau, tidak akan tajam dan tidak akan mampu memotong ketika tak menemukan pengasah, seorang diri diperjalanan melatih saya untuk memiliki hati yang kuat, untuk berani menghadapi apapun kendala selama diperjalanan. Ketika bersama dengan banyak orang, kita cenderung menjadi kerdil merasa lebih santai dan aman karena ada banyak orang disekitar yang bisa dimintai pertolongan, tapi ketika seorang diri hanya ada kita, Tuhan dan tantangan yang seringnya tak terduga dari-Nya. Tidak mudah, sangat tidak mudah melalui nya, sekali lagi tekad kuat tak boleh lepas dari jiwa, pikiran positif tidak boleh lepas dari kepala kita, bahkan sekali waktu harus nyaris dihadapkan dengan kematian, suatu kepastian yang kita tidak pernah tahu kapan datang-nya, ya semua nya akan sangat terasa ketika seorang diri, disitu dimana pisau benar-benar diasah tajam.

  Tapi, tak mungkin di dunia ini kita bisa hidup sendiri bukan, karena itu tidak manusiawi? Yah, ketika saya melangkahkan kaki seorang diri, bukan saya mengasingkan diri, tetapi sejatinya saya sedang menuju tempat dimana saya akan bertemu dengan orang-orang baru, diperjalanan, ditempat tujuan, orang-orang yang nanti nya akan menjadi sahabat dan keluarga baru bagi kehidupan saya yang mengajarkan bagaimana artinya hidup berbagi, berbagi pengetahuan, berbagi kisah perih, berbagi kisah bahagia, kisah-kisah mereka akan menjadi kisah yang akan senantiasa saya bagi untuk orang-orang disekitar, kisah yang menguatkan para pejuang kehidupan, kisah yang menyadarkan para penikmat kenyamanan.

  Pencapaian sebuah cita-cita besar seseorang pun tak pernah lepas dari orang-orang kuat yang mendukung di belakang-nya, seperti mana Sir Edmund Hillary yang dinobatkan pertama kali menginjakan kaki di puncak Everest, puncak gunung tertinggi dunia yang menjadi cita-cita besar-nya. Di belakang nya  mengiringi seorang Tenzing Norgay sang Sherpa berserta 750 orang pendaki profesional dan 150 orang personel pendukung perbekalan saling bahu-membahu membantu mewujudkan cita-cita besar sir Edmund, mereka adalah Tim keberhasilan sir Edmund, tanpa kerja sama yang baik tak akan mungkin sir Edmund mampu sampai di titik tertinggi bumi ini.

  Sebagaimana Al-Ibnu Bathutah, yang namanya tercatat sebagai penjelajah ulung dalam sejarah dunia tak akan beranjak dari dermaga membelah lautan mengelilingi dunia menuju pelabuhan harapan, tanah harapan, muara pengetahuan tanpa nahkoda, navigator dan awak kapal yang solid. Sebuah pengetahuan tentang kerja sama adalah penyelamat ketika kondisi berada diluar kendali, dan saya mempelajari itu semasa sekolah menjadi wakil ketua OSIS SMA, mengisi tanggung jawab berbagai kepengurusan di dalam Organisasi kampus, di instansi pendidikan dimana saya berkiprah, dan belajar langsung dalam melakukan perjalanan dan penjelajahan tim. Belajar bisa dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja, yang utama adalah jangan berhenti untuk selalu belajar hal apapun.

  Pengalaman adalah guru terbaik yang pernah ada, saya sangat meyakini hal ini. Kuat lemahnya kita menghadapi resiko terbantu atas kontribusi pengalaman dari orang lain, dari mereka yang hidup lebih dahulu, dari mereka yang lebih banyak menjalani kesulitan, juga dari pengalaman kita sendiri. Mempelajari pengalaman dari orang lain haruslah pandai untuk mendengar dan menahan ego dari merasa paling benar, merasa paling bisa dan merasa paling hebat. Bukan dari siapa pengalaman itu dialami, tetapi pengalaman seperti apa yang telah mereka alami. Di sini, di dunia yang serba subjektif, kita bisa belajar dari pengalaman orang-orang terdahulu, bagaimana sulitnya menjadi manusia yang mampu menilai dengan lebih objektif, menilai dengan hukum keadilan, yaitu penilaian yang akan banyak memberikan keselamatan.

  Penjelajahan 18 pegunungan di pulau Jawa yang 2 tahun terakhir saya lakukan diwaktu-waktu luang mulai dari titik barat hingga ke timur di atas kerasnya bak truk-truk dan mobil pick up tumpangan, dibawah guyuran hujan, di bawah terik nya matahari, di tengah badai yang membeku-kan, di tengah kelaparan dan kehausan, ditengah dingin dan sepi nya malam, di tengah kerapatan hutan dan di tengah kesendirian yang hampir membawa pada kematian, yang separuh perjalanan-nya saya awali hanya bersama langkah ke-dua kaki saya,   telah memberikan banyak hal; sahabat, keluarga, dan pengetahuan baru yang tak dapat dinilai dengan nominal uang, sebuah loyalitas kehidupan. Karena mereka lah waktu-waktu luang yang mengajarkan saya ilmu dan kehidupan, waktu-waktu luang yang menuntun saya pada penemuan-penemuan dalam logika dan di luar logika berpikir, waktu-waktu luang yang tidak membunuh kehidupan saya, waktu-waktu luang yang semakin mengingatkan saya akan kelemahan menjadi manusia dan ke-Maha Besaran sang Pencipta alam raya.

  Sudah semestinya bunga Teratai tumbuh di perairan, sudah sewajarnya bunga Edelwise tumbuh di ketinggian, sudah kondisi nya Kaktus tumbuh di gurun pasir dan sudah tempat nya gulungan awan ada di atas permukaan bumi, dan sudah mutlak ikan berenang di lautan, burung mengangkasa di udara. Kemudian, mengapa saya memilih Extreme Journey, karena sudah sepantas nya manusia berada dalam dunia yang membuat nya hidup dan terkembang bersama orang-orang yang memimpikan hal yang sama. Mengapa Extreme Journey, karena disanalah titik nol antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya, disanalah di dalam kesulitan saya lebih mengingat betapa Allah begitu menyayangi, bahwa Allah senantiasa menolong, bahwa dia begitu dekat melebihi urat nadi di dalam tubuh, bahwa Dia tidak pernah berlari meninggalkan saya seorang diri dalam kesulitan. Extreme Journey membuat saya malu ketika saya tidak mampu mentaati perintah Tuhan saya, sebuah perjalanan sulit yang menunjukkan kepada saya bahwa do’a dan ibadah adalah amunisi utama untuk bertahan dan menghadapi kesulitan, bukan lagi soal penguasaan safety prosedure. Ketahuilah, Extreme Journey bukanlah sebatas perjalanan mencari senang, bukan sebuah ajang untuk menunjukkan eksistensi diri, tetapi sebuah perjalanan dimana kesulitan adalah sebuah nikmat yang harus disyukuri karena ia telah menjadikan kita pribadi-pribadi berjiwa kuat, pribadi-pribadi yang mampu memanusiakan manusia, pribadi-pribadi yang memakmurkan alam dimana dia berpijak, pribadi-pribadi yang menyemangati dan menginspirasi mereka yang mulai kehilangan harapan.

  Dari masa lalu saya belajar, dari seorang putra didikan alam pejuang hidup dan pahlawan nasional, Buya Hamka:
“Kerana sudah demikian semestinya hidup itu, habis kesulitan yang satu akan menimpa kesulitan yang lain. Kita hanya beristirahat untuk sementara guna mengumpulkan kekuatan untuk menempuh perjuangan yang baru. Sebab itulah maka tak usah kita menangis diwaktu mendaki, sebab di balik puncak perhentian itulah telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita jaga di sana, yaitu kuatkan kaki agar tidak tergelincir. Dan tak usah kita tertawa sewaktu menurun, karena kita akan menempuh pendakian pula, yang biasanya lebih tinggi dan menggoyahkan lutut daripada pendakian yang dahulu. Dan baru-lah kelak, di akhir sekali akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di satu padang yang luas terbentang, bernama Kematian”

  Maka saya akan terus bergerak dan berkembang bersama alam, sekalipun semua orang memilih meninggalkan, sekalipun resiko besar sering menghadang didepan. Ketika alam terkembang ia mampu menjadi guru dan teladan yang paling bijaksana mengajarkan bagaimana manusia menjalankan hidup yang semestinya.

Terimakasih Ibuk, terimakasih Ayah telah mengizinkan putri mu belajar, mendengar, melihat, melangkah lebih banyak
Terimakasih telah mengajarkan untuk melihat dunia dari segala sudut pandang
Terimakasih untuk semua guru-guru kehidupan, Alam semesta

Jakarta, 2 Mei 2014, Selamat Hari Pendidikan Nasional

1 komentar: