Selasa, 15 Juli 2014

Merantaulah Anak Muda
#-Merantaulah…-
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).#
#Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.#
#Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.#
#Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.#
#Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.#
#Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.#
#Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.#
———————————————————————————————-
Merantaulah…
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang)
———————————————————————————————-
Sumber: Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal. 39

Jumat, 04 Juli 2014

Every Trail Start Here_Jelajah Cincin Api Pulau Jawa

“It’s not only journey, it's extreme journey”. Motto yang sangat mewakili jiwa saya, terimakasih untuk tim The Extreme Journey Caldera Indonesia yang mencetuskan motto ini...hehe.

Petualangan itu dimulai pada titik 0 meter di atas permukaan laut pulau Jawa, karena preferensi petualangan saya adalah jelajah pegunungan. Cukup beralasan mengapa memilih pegunungan, karena salah satu ciri khas negeri ini adalah dikitari oleh pasak pegunungan ber-api baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif yang diselimuti oleh hutan-hutan tropis yang kaya biodiversitas. Tak kenal maka tak sayang, saya ingin mengenal Indonesia lebih dalam dari pegununganya, keragaman hayati di dalam nya, masyarakat dan tradisi di sekitarnya yang sebagianya bisa memperkaya literasi ilmu biologi yang saya pelajari dan menambah wawasan ke nusantaraan.

  Bagi saya petualangan tidak sebatas pada pencapaian kepuasan dan kesenangan maupun penaklukan suatu destinasi, tetapi petualangan sesungguhnya bagi saya adalah suatu langkah untuk melatih mental, menguasai resiko dan menambah khazanah pengetahuan, sehingga sebuah perjalanan petualangan akan membawa saya menjadi manusia yang mampu ber-empati, mandiri, berwawasan dan menghargai alam semsesta serta mampu menginspirasi sekitar.

  Dari 18 gunung yang pernah saya jelajahi dari barat ke timur pulau Jawa dalam kurun waktu 2 tahun terakhir hampir setengahnya dijelajahi dengan personel yang minim bahkan karena suatu kondisi yang tak terprediksi saya harus melakukanya seorang diri, beberapa pendakian dilakukan secara marathon dengan estimasi 1 minggu 4 gunung. Jalur yang ekstrim menjadi pilihan saya, karena pada jalur yang jarang dijamah manusia lebih berpotensi ditemukan spesies-spesies baru dari flora dan fauna, tempat tempat tersembunyi yang menyimpan sejarah serta penduduk-penduduk yang unik yang mengajarkan ke-arifan.

Saya mengambil 3 gunung yang menurut saya cukup extrem dalam perjalanannya, yaitu gunung Ciremai sebagai gunung tertinggi di Jawa barat, gunung Merapi gunung api teraktif di jawa dan Pegunungan Dataran tinggi Dieng Jawa Tengah.

Gunung Merapi 2968 mdpl, 1 minggu pasca erupsi 2013

Ini lah pertama kali nya saya mencoba sebagai nekat traveller, menjelajah gunung Merapi 1 minggu pasca erupsi 2013 bersama 2 orang rekan sebuah destinasi yang karenanya kami di anggap kawan-kawan dan orang tua mencari mati. Berangkat seorang diri dari Jakarta menuju Solo dan kami bersepakat untuk bertemu di Solo, karena masing-masing dari kami memiliki agenda yang berbeda. Kala itu sore hari kami kurang beruntung tidak mendapatkan angkutan yang akan membawa kami menuju basecamp Merapi di Selo boyolali, sementara jarak yang harus kami tempuh lebih kurang 20 km hingga menuju basecamp Merapi di New Selo. Kondisi makin tidak kondusif karena malam pun tiba jalanan menuju Selo makin minim kendaraan. Akhirnya saya memutuskan mengajak 2 rekan untuk menempuhnya dengan berjalan kaki, kami terus berjalan kaki sambil berharap masih ada truk truk atau mobil pick up petani yang bersedia ditumpangi.

Berjalan sambil menyetop nyetop kendaraan yang mungkin lewat, Alhamdulillah setelah beberapa kali gagal mendapat tumpangan akhirnya sebuah mobil pribadi berhenti dan bersedia menampung kami walau masih jauh dari tujuan. Diturunkan di tepian jalan, kami melangkah terus sambil sambung menyambung menyetop truk truk sayur. Karena belum begitu paham wilayah Selo akhirnya truk membawa menuju perbatasan Magelang semakin menjauhi wilayah Selo. Sekitar pukul 11 malam, kami diturunkan ditepi jalan dimana kanan kiri hanya hutan dan sangat gelap. Kembali kami berjalan balik menuju arah Selo dan alhamdulillah ada pick up petani sayur yang kebetulan lewat dan bersedia ditumpangi, dan benar menurunkan kami di pasar Selo. perjalanan selanjutnya sekitar 30 menit menanjak dari Pasar Selo menuju basecamp Merapi, melakukan registrasi dan beristirahat sekitar 1 jam untuk sedikit memulihkan tenaga, sekitar pukul 1 dini hari kami memutuskan untuk summit attack karena perjalanan kami diburu oleh waktu karena masing-masing dari punya deadline pekerjaan. Kala itu, kami nyaris menjadi tim tunggal yang mendaki Gunung Merapi, karena kondisi gunung 1 minggu pasca erupsi menyebabkan Merapi tidak recomended untuk didaki. Tapi kami tetap memutuskan untuk mendaki dengan memperhatikan pesan dari ranger gunung agar senantiasa mengawaasi asap kawah yang sewaktu waktu terlihat membumbung ke langit.

Kami menerabas dingin dan sepi nya jalur pendakian hingga mendekati puncak di pagi harinya, medan terberat kami adalah jalur berpasir menuju kawah Merapi yang benar-benar menguras tenaga yang memang sudah minim, maju selangkah-mundur 2 langkah pada medan medan yang curam dengan ancaman batu-batu an yang mungkin jatuh terkena angin dari atas, kami hanya mampu merangkak perlahan dan memilih pijakan yang kuat sampai akhirnya berhasil sampai di puncak dan mengamati kawah vulkanik gunung Merapi. Beruntung kawah sedang tenang dan tidak mengeluarkan asap. Setelah melakukan dokumentasi akhirnya kami memutuskan untuk turun dengan kondisi siang hari yang terik dan logistik yang hampir habis. Alhamdulillah perjalanan turun cukup lancar, tetapi kembali kami kehabisan kendaraan umum karena kami tiba di bawah sudah sore hari. kami memutuskan untuk bertanya-tanya dengan warga desa, alhamdulillah mereka bersedia mengantarkan menuju terminal dengan membayar seadanya, akhirnya tiba kami di terminal boyolali kembali dan masing-masing dari kami berpisah menuju tujuan masing-masing.

Gunung Ciremai 3078 mdpl

Sore 7 September 2013 bertolak seorang diri dari Jakarta menuju Kota Cirebon, 5 jam perjalanan dan supir bus dengan semena-mena menurun kan saya di Fly over sekitar 40 menit jauhnya dari terminal kota Cirebon. Kala itu sekitar pukul 9 malam, dijalan besar dan sepi beruntung bertemu abang-abang yang mau menunjukkan arah dan angkot yang bisa mengantarkan sampai terminal. Setibanya diterminal saya langsung mencari pos Polisi untuk menunggu kawan dari Mapala Unswagati yang akan menjemput. Kawan tiba dan akhirnya bermalam disana dimana paginya bersiap untuk summit Ciremai.

  Saya memilih Jalur Linggar Jati via Kuningan yang dikenal sebagai salah satu jalur terekstrim dari pegunungan di pulau Jawa, beserta seorang rekan anggota Mapala dan seorang rekan suku dayak Kalimantan. Dalam perjalanan melalui medan yang berat dan minim sumber air kami memutuskan mendirikan tenda jelang malam. Esok pagi salah seorang rekan mendadak sakit dan meminta untuk tidak meneruskan perjalanan dan menanti sambil beristirahat di tenda. Bersama seorang rekan yang tersisa saya melanjutkan penjelajahan hutan gunung Ciremai hingga menuju puncak yang diatasnya terbentang Kaldera gunung Ciremai. 

  Setelah pengamatan sana-sini kami memutuskan untuk turun, dalam perjalanan turun kawan meminta agar saya bergerak lebih dulu, ditengah perjalananan kami terpisah jauh kala itu diluar prediksi awan langit menghitam dan turun hujan deras, tanpa membawa jas hujan hanya berbekal sebotol air mineral dan trekking poll tanpa makanan hanya beberapa permen yang terselip dikantong. Karena seluruh makanan dan perlengkapan dipegang oleh rekan dibelakang. Hujan deras membuat jalur pendakian seperti sungai dan sulit dilalui membuat saya mencari jalur lain yang lebih mungkin dilewati. Jalur yang akhirnya membuat saya tersasar hingga ke tengah hutan yang lebat, dalam kondisi basah kuyup dan mulai menjelang sore, saya mulai panik dengan keadaan dan memilih berdiam disalah satu pohon besar sambil berfikir kemungkinan terburuk saya akan berakhir di hutan ini. Tetapi Tuhan sepertinya masih sayang, tiba-tiba langit sebagian menjadi terang dan saya menemukan seberkas cahaya jauh disudut hutan, dengan susah payah dan medan yang sangat licin dan terjal yang membuat terpeleset berkali-kali dan menggulundung sampai tubuh sudah penuh lumpur akhirnya saya tiba pada sumber cahaya, Alhamdulillah ternyata itu merupakan jalur yang benar dengan sisa tenaga yang ada saya terus menyusuri jalur tersebut sampai sayup-sayup terdengar suara orang, yah tempat dimana kami mendirikan tenda.

Jelang malam ternyata kawan tidak juga turun hingga pagi menjelang, mendapat kabar dari beberapa pendaki yang juga memilih melewati jalur ini bahwa rekan kami mengalami cidera dan nyaris hipotermia, beruntung dalam perjalanya ia ditampung oleh pendaki lain di atas. Akhirnya kawan memutuskan untuk menjemput ke atas dan alhamdulillah ditemukan. Kami nyaris di SAR tetapi kami masih memiliki keyakinan untuk bisa turun sendiri dengan selamat sampai masuk pemukiman penduduk. Dan syukur akhirnya kami mampu dan selamat.

Pegunungan Dataran Tinggi Dieng

Akhir desember 2013 saya merencanakan  triple summit gunun Sumbing-Sindhoro-Prau dan Jelajah pelosok dataran tinggi Dieng selama 1 minggu. Seperti biasa, berangkat seorang diri dari terminal lebak bulus menuju Wonosobo Jawa Tengah kurang lebih 12 jam perjalanan, kemudian menanjak menuju dataran tinggi dieng dengan angkutan mini bus hingga menuju desa di sekitar dieng dimana 2 rekan saya penduduk asli sana yang akan mengiringi rencana triple summit saya. Gunung Sumbing dan Prau lancar dilewati, namun tidak dengan gunung Sindhoro karena kala itu cuaca sangat ekstrim sehingga  pendakian Sindhoro terpaksa dibatalkan. Destinasi kemudian saya putar untuk mejalajah pelosok dataran tinggi dieng bersama seorang rekan penduduk asli setempat melewati jalur jalur yang tidak bisa dibilang mudah.

Dalam penjelajahan kami menuju telaga Sedringo, telaga yang jarang dijamah, kami sempat tersasar karena kala itu hujan dan kabut sangat tebal. Beruntung kami tersasar dan menemukan suatu wilayah desa yang hilang beberapa puluh tahun lalu oleh bencana gas beracun yang keluar dari dari tanah dan memusnahkan satu desa tersebut, kemudian bencana retakan gunung yang terlempar oleh aktivitas magma bumi yang memusnahkan satu desa yaitu desa yang ada di wilayah Pekasiran. Selain itu kami juga menemukan makam-makam tanpa nama dengan tinggi kerangka mencapai 3 meter, makam-makam yang belum sempat dikaji dan diteliti. Kembali karena diburu waktu akhirnya saya menyudahi jelajah Dataran tinggi, dan berencana akan kembali lagi dilain waktu.

Saya menutup dengan Notes dari Soe Hok Gie

"Bahwa hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita tahu, tanpa kita bisa menawar
terima dan hadapi saja"

_So, keep hopes live_



Kali ini tentang "Hati"

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian, dan tidak pula pada rupa-rupa kalian, akan tetapi dia melihat kepada hati-hati kalian.”_(HR. Muslim)

Sebagaimana Allah melihat hamba-hamba ciptaan-nya dari hati mereka, sungguh luar biasa manusia yang bisa memandang dengan hati-nya, pandangan yang tidak akan menyakiti orang yang memandang-nya.

Mata dan pendengaran manusia adalah perpanjangan dari mata hati, yang akan membantu melihat seberapa mulia hati seorang manusia, apa yang dilakukan oleh tangan dan kaki nya, apa yang terucap dari lisan-nya, apa yang ada dalam pikiran-nya menjadi cermin baik atau buruk nya hati seseorang, cermin yang memantulkan kebaikan atau keburukan yang bisa dilihat oleh orang lain_(Al-Gazhaly)

Mari membersihkan hati di bulan suci semoga bisa berbekas sampai mati
Menjaga hati, memuliakan diri, tidak memantulkan kecuali yang baik

Semangat berpuasa, semangat menjaga hati 
S

Siapa bilang kesedihan itu perih?
Kesedihan terkadang indah
Dia mengajarkan arti ketabahan
Siapa bilang kesedihan itu sakit?
Kesedihan terkadang menjadi teman
yang menempa hati menjadi lebih kuat
 Sisi Lain Kesedihan

Siapa bilang kesedihan itu kejam?
Kesedihan terkadang baik
Dia menunjukkan arti nilai kehidupan
Siapa bilang kesedihan itu selalu berujung penderitaan?
Terkadang itulah awal dari kehidupan yang lebih baik lagi

Tidak selamanya kesedihan itu “membunuh” kita
Kita takkan mengenal arti bahagiatanpa pernah merasakan kesedihan
Dan malah kesedihan itu mengajarkan kita
Untuk lebih menghargai hidup
Dan makin mendekatkan kita pada Sang Pencipta…

dari catatan kecil seorang teman.... Irmayani Fransiska :)

Jumat, 27 Juni 2014

The Extreme Journey, Sebuah Pendidikan Kehidupan

The Extreme Journey, Sebuah Pendidikan Kehidupan

“Sebuah perjalanan panjang dengan tantangan bagi para petualang sejati, melintasi tempat-tempat terindah di Indonesia, menyelami budaya, mencicipi ragam pengalaman, menjumpai manusia dari pelosok negeri, hingga melintasi batas negara. Mencari sisi lain dari jejak sejarah manusia lewat petualangan bersama_The Extreme Journey”

  Sepenggal frasa di atas sangat-sangat mewakili preferensi saya dalam melakukan sebuah perjalanan. Berjibaku dengan beragam tantangan memperkaya pengalaman menabung pengetahuan empiris, menikmati sekaligus memelihara maha karya sang Pencipta, mempelajari karya cipta manusia melalui budaya, bercengkerama dengan manusia-manusia arif di seantero dunia menumbuhkan jiwa-jiwa yang mampu ber-empati atas penderitaan sesama dan membangun generasi mandiri yang mampu menghargai negerinya dan berbagi keberhasilan dimasa mendatang. Sebuah cita-cita besar yang tak kan terwujud tanpa bahu membahu dengan rekan-rekan yang membangun cita yang sama.
Seperti halnya semakin tinggi puncak sebuah gunung, semakin besar angin dan badai yang menghempas, harus lah melatih kaki menjadi kuat dan pandai menemukan pijakan, membangun hati yang teguh selama pendakian sehingga dapat tiba di puncak dengan selamat. Cita-cita yang besar sudah tentu tak begitu mudah nya di raih, perlu pengetahuan, tekad yang kuat, pengorbanan yang besar, cucuran keringat bahkan tetesan air mata.

  The Extreme Journey menggambarkan sebuah perjalanan yang menjadi salah satu cita-cita saya, cita-cita untuk semakin dalam mengenal negeri ini untuk semakin mencintai dan memelihara negeri ini untuk mengatakan pada dunia bahwa saya bangga menjadi bagian dari negeri ini, semakin mencintai Indonesia semakin mencintai bumi nya. Untuk nya saya belajar menimba ilmu tentang bagaimana Alam raya diluar kendali manusia ini bekerja, Biologi mengenalkan pengetahuan Alam kepada saya, dari nya saya menjadi tahu bagaimana cara harus bertahan hidup ketika alam menjadi tidak terkendali, bukan dengan menantang atau menaklukan nya, tetapi membuka hati, menggerakan tangan, melangkahkan kaki se-irama dengan pergerakan alam, sebagaiman masyarakat adat dusun Waerebo NTT, Suku Anak Dalam Jambi, masyarakat Suku Dayak Kalimantan, suku Korowai Papua dan masyarakat adat diseluruh Indonesia yang masih tersisa yang telah mengajarkan bagaimana bersinergi dengan alam, dari pengetahuan empiris mereka bersama pengetahuan Biologi selama di perguruan tinggi hingga saat ini saya terus belajar untuk bergerak bersama Alam.

  Melangkah terus melangkah, tak mungkin mengenal Alam dan isinya tanpa menjelajah, tak mungkin penjelajahan dimulai tanpa tekad dan keberanian, tanpa pemikiran dari akal yang sehat,  tanpa hati dan kaki yang kuat. Segala nya harus serba dilatih untuk pandai menghadapi resiko, sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tak akan sulit lagi untuk dilakukan. Keberanian menjadi harga mati dalam sebuah perjalanan, saya melatih nya dengan memulai langkah seorang diri dari tempat dimana saya tinggal, memetakan destinasi yang menjadi keinginan agar waktu menjadi tidak terbuang sia-sia. Mengapa memilih seorang diri? Sebab keberanian ibarat sebuah pisau, tidak akan tajam dan tidak akan mampu memotong ketika tak menemukan pengasah, seorang diri diperjalanan melatih saya untuk memiliki hati yang kuat, untuk berani menghadapi apapun kendala selama diperjalanan. Ketika bersama dengan banyak orang, kita cenderung menjadi kerdil merasa lebih santai dan aman karena ada banyak orang disekitar yang bisa dimintai pertolongan, tapi ketika seorang diri hanya ada kita, Tuhan dan tantangan yang seringnya tak terduga dari-Nya. Tidak mudah, sangat tidak mudah melalui nya, sekali lagi tekad kuat tak boleh lepas dari jiwa, pikiran positif tidak boleh lepas dari kepala kita, bahkan sekali waktu harus nyaris dihadapkan dengan kematian, suatu kepastian yang kita tidak pernah tahu kapan datang-nya, ya semua nya akan sangat terasa ketika seorang diri, disitu dimana pisau benar-benar diasah tajam.

  Tapi, tak mungkin di dunia ini kita bisa hidup sendiri bukan, karena itu tidak manusiawi? Yah, ketika saya melangkahkan kaki seorang diri, bukan saya mengasingkan diri, tetapi sejatinya saya sedang menuju tempat dimana saya akan bertemu dengan orang-orang baru, diperjalanan, ditempat tujuan, orang-orang yang nanti nya akan menjadi sahabat dan keluarga baru bagi kehidupan saya yang mengajarkan bagaimana artinya hidup berbagi, berbagi pengetahuan, berbagi kisah perih, berbagi kisah bahagia, kisah-kisah mereka akan menjadi kisah yang akan senantiasa saya bagi untuk orang-orang disekitar, kisah yang menguatkan para pejuang kehidupan, kisah yang menyadarkan para penikmat kenyamanan.

  Pencapaian sebuah cita-cita besar seseorang pun tak pernah lepas dari orang-orang kuat yang mendukung di belakang-nya, seperti mana Sir Edmund Hillary yang dinobatkan pertama kali menginjakan kaki di puncak Everest, puncak gunung tertinggi dunia yang menjadi cita-cita besar-nya. Di belakang nya  mengiringi seorang Tenzing Norgay sang Sherpa berserta 750 orang pendaki profesional dan 150 orang personel pendukung perbekalan saling bahu-membahu membantu mewujudkan cita-cita besar sir Edmund, mereka adalah Tim keberhasilan sir Edmund, tanpa kerja sama yang baik tak akan mungkin sir Edmund mampu sampai di titik tertinggi bumi ini.

  Sebagaimana Al-Ibnu Bathutah, yang namanya tercatat sebagai penjelajah ulung dalam sejarah dunia tak akan beranjak dari dermaga membelah lautan mengelilingi dunia menuju pelabuhan harapan, tanah harapan, muara pengetahuan tanpa nahkoda, navigator dan awak kapal yang solid. Sebuah pengetahuan tentang kerja sama adalah penyelamat ketika kondisi berada diluar kendali, dan saya mempelajari itu semasa sekolah menjadi wakil ketua OSIS SMA, mengisi tanggung jawab berbagai kepengurusan di dalam Organisasi kampus, di instansi pendidikan dimana saya berkiprah, dan belajar langsung dalam melakukan perjalanan dan penjelajahan tim. Belajar bisa dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja, yang utama adalah jangan berhenti untuk selalu belajar hal apapun.

  Pengalaman adalah guru terbaik yang pernah ada, saya sangat meyakini hal ini. Kuat lemahnya kita menghadapi resiko terbantu atas kontribusi pengalaman dari orang lain, dari mereka yang hidup lebih dahulu, dari mereka yang lebih banyak menjalani kesulitan, juga dari pengalaman kita sendiri. Mempelajari pengalaman dari orang lain haruslah pandai untuk mendengar dan menahan ego dari merasa paling benar, merasa paling bisa dan merasa paling hebat. Bukan dari siapa pengalaman itu dialami, tetapi pengalaman seperti apa yang telah mereka alami. Di sini, di dunia yang serba subjektif, kita bisa belajar dari pengalaman orang-orang terdahulu, bagaimana sulitnya menjadi manusia yang mampu menilai dengan lebih objektif, menilai dengan hukum keadilan, yaitu penilaian yang akan banyak memberikan keselamatan.

  Penjelajahan 18 pegunungan di pulau Jawa yang 2 tahun terakhir saya lakukan diwaktu-waktu luang mulai dari titik barat hingga ke timur di atas kerasnya bak truk-truk dan mobil pick up tumpangan, dibawah guyuran hujan, di bawah terik nya matahari, di tengah badai yang membeku-kan, di tengah kelaparan dan kehausan, ditengah dingin dan sepi nya malam, di tengah kerapatan hutan dan di tengah kesendirian yang hampir membawa pada kematian, yang separuh perjalanan-nya saya awali hanya bersama langkah ke-dua kaki saya,   telah memberikan banyak hal; sahabat, keluarga, dan pengetahuan baru yang tak dapat dinilai dengan nominal uang, sebuah loyalitas kehidupan. Karena mereka lah waktu-waktu luang yang mengajarkan saya ilmu dan kehidupan, waktu-waktu luang yang menuntun saya pada penemuan-penemuan dalam logika dan di luar logika berpikir, waktu-waktu luang yang tidak membunuh kehidupan saya, waktu-waktu luang yang semakin mengingatkan saya akan kelemahan menjadi manusia dan ke-Maha Besaran sang Pencipta alam raya.

  Sudah semestinya bunga Teratai tumbuh di perairan, sudah sewajarnya bunga Edelwise tumbuh di ketinggian, sudah kondisi nya Kaktus tumbuh di gurun pasir dan sudah tempat nya gulungan awan ada di atas permukaan bumi, dan sudah mutlak ikan berenang di lautan, burung mengangkasa di udara. Kemudian, mengapa saya memilih Extreme Journey, karena sudah sepantas nya manusia berada dalam dunia yang membuat nya hidup dan terkembang bersama orang-orang yang memimpikan hal yang sama. Mengapa Extreme Journey, karena disanalah titik nol antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya, disanalah di dalam kesulitan saya lebih mengingat betapa Allah begitu menyayangi, bahwa Allah senantiasa menolong, bahwa dia begitu dekat melebihi urat nadi di dalam tubuh, bahwa Dia tidak pernah berlari meninggalkan saya seorang diri dalam kesulitan. Extreme Journey membuat saya malu ketika saya tidak mampu mentaati perintah Tuhan saya, sebuah perjalanan sulit yang menunjukkan kepada saya bahwa do’a dan ibadah adalah amunisi utama untuk bertahan dan menghadapi kesulitan, bukan lagi soal penguasaan safety prosedure. Ketahuilah, Extreme Journey bukanlah sebatas perjalanan mencari senang, bukan sebuah ajang untuk menunjukkan eksistensi diri, tetapi sebuah perjalanan dimana kesulitan adalah sebuah nikmat yang harus disyukuri karena ia telah menjadikan kita pribadi-pribadi berjiwa kuat, pribadi-pribadi yang mampu memanusiakan manusia, pribadi-pribadi yang memakmurkan alam dimana dia berpijak, pribadi-pribadi yang menyemangati dan menginspirasi mereka yang mulai kehilangan harapan.

  Dari masa lalu saya belajar, dari seorang putra didikan alam pejuang hidup dan pahlawan nasional, Buya Hamka:
“Kerana sudah demikian semestinya hidup itu, habis kesulitan yang satu akan menimpa kesulitan yang lain. Kita hanya beristirahat untuk sementara guna mengumpulkan kekuatan untuk menempuh perjuangan yang baru. Sebab itulah maka tak usah kita menangis diwaktu mendaki, sebab di balik puncak perhentian itulah telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita jaga di sana, yaitu kuatkan kaki agar tidak tergelincir. Dan tak usah kita tertawa sewaktu menurun, karena kita akan menempuh pendakian pula, yang biasanya lebih tinggi dan menggoyahkan lutut daripada pendakian yang dahulu. Dan baru-lah kelak, di akhir sekali akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di satu padang yang luas terbentang, bernama Kematian”

  Maka saya akan terus bergerak dan berkembang bersama alam, sekalipun semua orang memilih meninggalkan, sekalipun resiko besar sering menghadang didepan. Ketika alam terkembang ia mampu menjadi guru dan teladan yang paling bijaksana mengajarkan bagaimana manusia menjalankan hidup yang semestinya.

Terimakasih Ibuk, terimakasih Ayah telah mengizinkan putri mu belajar, mendengar, melihat, melangkah lebih banyak
Terimakasih telah mengajarkan untuk melihat dunia dari segala sudut pandang
Terimakasih untuk semua guru-guru kehidupan, Alam semesta

Jakarta, 2 Mei 2014, Selamat Hari Pendidikan Nasional